Washington D.C., SultengDaily.com —Sementara rudal-rudal Iran melesat ke arah Israel di tengah malam yang mencekam, pasukan Amerika Serikat di Timur Tengah bergerak cepat. Sekitar 40.000 personel militer AS yang tersebar di pangkalan-pangkalan strategis kawasan, termasuk di pangkalan darat Yordania, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab, langsung siaga. Dalam senyap, sistem pertahanan udara Amerika ikut ambil bagian menembak jatuh serangan dari Teheran—tanpa perintah resmi untuk menyerang balik.
Kebijakan ini mencerminkan posisi kompleks Washington: berdiri teguh membela Israel, tetapi menghindari terseret ke dalam konflik terbuka dengan Iran yang berisiko meluas menjadi perang kawasan.
“Amerika tidak menyerang Iran, namun kami tahu terlebih dahulu rencana Israel,” ujar pejabat Gedung Putih seperti dikutip Reuters, menegaskan posisi diplomatis yang berupaya menjaga jarak, tanpa melepaskan komitmen keamanan kepada sekutunya.
Sikap ini seolah menegaskan strategi dua kaki yang tengah dijalankan Washington: menjaga keseimbangan antara loyalitas terhadap Israel sebagai mitra utama di kawasan, dan kehati-hatian geopolitik dalam menghadapi Iran sebagai kekuatan militer regional dengan jaringan milisi proksi yang luas di Lebanon, Suriah, Irak hingga Yaman.
Langkah konkret dukungan terlihat dari mobilisasi kekuatan armada. Pentagon diketahui telah mengerahkan dua kapal penghancur ke Laut Mediterania Timur serta memperbanyak patroli udara tempur sebagai lapisan perlindungan tambahan, baik untuk kepentingan Israel maupun keamanan pangkalan militer AS sendiri di Timur Tengah.
Namun di balik kesigapan militer itu, para analis kebijakan luar negeri memperingatkan: keterlibatan senyap semacam ini, bila tak disertai upaya diplomasi aktif, dapat memicu efek domino. Iran telah memperingatkan bahwa intervensi asing bisa memperluas front konflik, sementara kelompok milisi seperti Hizbullah dan Houthi semakin menunjukkan intensi untuk memperluas medan pertempuran.
“Ini bukan hanya soal roket atau drone. Ini ujian kepemimpinan global AS. Apakah mereka masih sanggup menahan api perang sambil tetap mempertahankan peran sebagai pelindung sekutu?” kata seorang peneliti keamanan Timur Tengah dari Carnegie Endowment.
Di sisi domestik, Gedung Putih menghadapi tekanan politik dalam negeri dari kubu konservatif untuk mendukung Israel secara lebih aktif, sembari menghadapi kritik progresif yang menuntut penghentian pembiayaan militer terhadap agresi. APBD politik Washington terbelah.
Meski berada di pusaran tekanan geopolitik dan opini publik yang berseberangan, pemerintahan Joe Biden tampaknya memilih jalur moderat—intervensi terbatas, namun dukungan logistik penuh. Ini adalah bentuk kompromi antara moralitas diplomatik dan kalkulasi strategis.
“Kami tidak akan membiarkan pasukan kami dalam bahaya. Tapi kami juga tidak akan membiarkan sekutu kami berdiri sendirian,” tegas juru bicara Pentagon dalam jumpa pers terbaru.
Dalam dilema global ini, Amerika Serikat tampak memainkan simfoni keseimbangan yang pelik: sebuah peran sebagai penjaga stabilitas kawasan sekaligus sponsor utama kekuatan Israel. Namun, pertanyaannya: sampai kapan harmoni ini bisa dijaga sebelum berubah menjadi dentuman perang besar?
Sumber: Reuters, Pentagon Press Briefing, Carnegie Endowment for International Peace