Paris, SultengDaily.com — Di tengah elegansi diplomatik Kota Paris, Pemerintah Republik Indonesia kini tengah menghadapi ujian berat. Lima properti diplomatik di ibu kota Prancis terancam disita sebagai buntut dari putusan arbitrase internasional dalam kasus sengketa pengadaan satelit dengan Navayo International AG. Kasus ini menjelma menjadi pertarungan hukum dan diplomatik, menyentuh langsung prinsip kekebalan negara, integritas kontrak internasional, serta kedaulatan hukum nasional di hadapan mekanisme arbitrase global.
“Putusan itu belum final. Pemerintah Indonesia sudah mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Paris,” ujar Menko Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, yang kini memimpin langsung upaya hukum sekaligus diplomatik atas ancaman penyitaan aset negara tersebut. Pemerintah berargumen bahwa kontrak yang menjadi dasar putusan arbitrase itu diduga kuat dilandasi oleh korupsi dan faktur fiktif. Barang yang diklaim dikirim oleh Navayo pun disebut tidak pernah diperiksa atau diuji secara layak.
Kasus Navayo sendiri bermula pada 2015, ketika Kementerian Pertahanan (Kemhan) menjalin kontrak dengan perusahaan asal Liechtenstein itu dalam proyek pemanfaatan slot orbit satelit 123° BT. Namun, proyek tersebut tidak berjalan sebagaimana mestinya. Pemerintah Indonesia memutuskan tidak melanjutkan program karena alasan anggaran dan perencanaan yang lemah. Tak lama kemudian, Navayo menggugat Kemhan melalui arbitrase di International Chamber of Commerce (ICC) di Singapura.
Pada 31 Mei 2022, ICC memutuskan bahwa Indonesia telah melanggar kontrak dan harus membayar USD 24,1 juta, ditambah denda harian sebesar USD 2.568 jika pembayaran tidak dilakukan tepat waktu. Meski Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah mengeluarkan perintah penegakan pada Desember 2021, pemerintah mengajukan perlawanan yang akhirnya ditolak pada Februari 2024. Sementara itu, di luar negeri, Navayo berhasil memperoleh izin dari pengadilan Prancis untuk menyita properti diplomatik Indonesia—sebuah langkah yang langsung ditentang keras oleh Jakarta.
“Penyitaan aset diplomatik bertentangan dengan Konvensi Wina dan prinsip kekebalan negara,” tegas Yusril. Argumen utama Indonesia adalah bahwa putusan arbitrase itu mengabaikan fakta-fakta penting, termasuk audit pemerintah yang menyatakan nilai pekerjaan Navayo hanya sekitar Rp 1,9 miliar, jauh di bawah klaim puluhan juta dolar. Selain itu, terdapat dugaan empat faktur fiktif yang ditandatangani oleh pejabat tidak berwenang.
Langkah Indonesia tidak hanya terbatas pada upaya banding hukum. Dalam kunjungan resmi ke Paris, Yusril bertemu Menteri Kehakiman Prancis Gérald Darmanin untuk menjajaki penyelesaian politik dan kerja sama hukum lintas negara. Strategi ganda ini mencerminkan kompleksitas upaya perlindungan aset negara, yang kini menyangkut aspek hukum publik internasional, investigasi pidana domestik, dan keutuhan diplomatik Indonesia di mata dunia.
Di sisi lain, hukum Prancis memang dikenal mendukung penegakan putusan arbitrase. Namun, celah tetap ada: pengadilan dapat menolak jika penegakan melanggar “kebijakan publik internasional” atau merugikan kekebalan diplomatik secara eksplisit. Indonesia mencoba masuk melalui jalur inilah. Dengan mengangkat tuduhan korupsi dan pelanggaran Konvensi Wina, pemerintah berharap pengadilan Paris menangguhkan atau bahkan membatalkan proses penyitaan.
Proses banding di Pengadilan Tinggi Paris sendiri masih berlangsung dan belum memasuki tahap final. Pemerintah menekankan bahwa keberhasilan upaya ini akan sangat bergantung pada kekuatan bukti dan penerimaan argumen hukum Indonesia. Sementara itu, Kejaksaan Agung terus melakukan penyelidikan terhadap dugaan pidana dalam kontrak satelit tersebut. Jika Navayo terbukti terlibat dalam korupsi, pemerintah tak segan melibatkan Interpol untuk menuntut mereka secara pidana.
“Ini bukan hanya soal arbitrase. Ini soal melindungi kedaulatan, hukum nasional, dan prinsip-prinsip keadilan,” tegas Yusril. Dalam situasi seperti ini, Pemerintah Indonesia mencoba mengubah posisi dari terdakwa menjadi penggugat moral, mengangkat standar internasional untuk menegakkan keadilan yang lebih luas.
Kasus Navayo bukan sekadar gugatan kontrak. Ia adalah cermin dari kerentanan pengelolaan proyek lintas negara, serta pelajaran berharga tentang bagaimana diplomasi, hukum, dan tata kelola harus berjalan seiring dalam melindungi kepentingan bangsa.
(Sumber: Ringkasan Kasus Navayo; Kabar24, Kompas.com, DetikNews, ANTARA, dan sumber resmi pemerintah terkait)